Minggu, 23 Mei 2010

RUMAH ADAT KARO

RUMAH ADAT KARO



Dari dahulu sampai sekarang rumah adat karo masih dianggap sakral, karena menurut suku karo atau pada umumnya, rumah adat karo biasanya digumakan buntuk ibu yang akan melahirkan, yaitu di mana ibu yang hamil akan memegang bendi-bendi dan seluruh rumah adat tersebut ditutupi dengan kelambu, karena masyarakat dahulu percaya bahwa setiap ibu yang melahirkan akan sehat dan dalam sehat walafiat.








Di rumah adat (jabu) ini, ibu yang melahirkan akan berada di ture (sekarang di sebut sebagai teras). Ture tersebut terbuat dari bambu dan jika ingin naik harus melewati tangga bsekitar lima anak tangga.








Rumah adat karo sama seperti halnya rumah adat batak lainnya yaitu memiliki kolong. Hal tersebut dikarenakan masih adanya binatang buas (seperti harimau, singa dll) serta hewan melata (ular, lipan, kalajengking), jadi untuk berjaga0jaga maka rumah tersebut dibuat berkolong.








Makna rumah adat, kata enek moyang dahulu memiliki kekuatan, yaitu tidak bisa dibakar, dan jika pun ingin di bakar tidak bakalan terbakar. Nenek moyang dahulu dan masyarakat karo masih percaya akan adanya ornamen yang berada di dinding Rumah adat yang berfungsi sebagai pelindung dan penyelamat.








Kelebihan rumah adat karo terhadap rumah modern lainnya yaitu, rumah sekarang/modern hanya ditempati oleh satu kelurga sehingga makna persaudaraan mulai teriris, selain itu dengan rumah sendiri maka lebih leluasa menggunakan mistik/magic sedangkan di rumah adat tidak bisakarena telah ada ornamen yang menjadi acuan di dalam rumah adat.








Rumah adat yang di tanah karo yang masih bertahan masih dapat dilihat di daerh lingga dan peceren.























RUMAH ADAT KARO DI LINGGA















Salah satu karya tradisi yang mempertegas bahwa rumah tidak sekedar menonjolkan efisiensi fungsi ruang tapi juga tempat menumbuhkan nilai2 salah satunya kebersamaan salah satu nilai yang kuat dipancangkan di rumah adat Karo Rumah Adat Karo merupakan simbol kebersamaan masyarakat Karo itu sendiri.

Bangunan rumah Tradisional Karo memiliki dua belas, delapan, enam dan empat keluarga yang hidup berdampingan dalam keadaan damai dan tenteram. Rumah warisan budaya Karo berusia ratusan tahun dan terdapat di sejumlah desa di Kabupaten Karo, termasuk di Desa Lingga.

Bahan bangunan rumah tradisionil ini dari kayu bulat, papan, bambu dan beratap ijuk tanpa menggunakan paku yang dikerjakan tenaga arsitektur masa lalu. Rumah adat karo memiliki dua pintu, yang letaknya di bagian depan dan yang satunya lagi di belakang. Jumlah jendela-nya ada delapan. Empat ada di samping kiri dan kanan.

Dan empatnya lagi ada di bagian depan dan belakang. Organisasi rumah adat ini berpola “linier” karena ruangan-nya menunjukkan bentuk garis. Pada beberapa bagian rumah terdapat relief yang dicat dengan warna merah, putih, kuning, hitam dan biru. Bangunan-bangunan itu berbentuk khusus yang melambangkan sifat-sifat khusus dan kekhasan yang di miliki oleh suku karo pada umumnya.

Keunikan dari rumah adat karo dibandingkan dengan rumah adat lainnya yang ada di Sumatera adalah pada atapnya. Atap rumah adat karo bertingkat dua dan pada kedua ujung atap rumah adat ini terdapat tanduk kerbau.

kondisi rumah peninggalan nenek moyang karo tersebut sangat memprihatinkan. Di Desa Lingga terdapat sekitar 28 rumah adat. Kini tinggal 2 buah lagi yang layak huni--rumah Gerga (Raja) dan rumah Blang ayo. Sekitar 5 rumah adat disana berdiri miring dan hampir rubuh. Sedangkan rumah adaat lainnya telah rubuh.















Lingga terletak sekitar 1200km dari Berastagi.








Rumah adat Lingga, termasuk bagian dari daerah parawisata dan sering dikunjungi oleh tourist dan pelajar sekal;ian melakukan penelitian termasuk saya.








Pemilik atau yang masih menempati rumah adat juga mengatakan, para pengunjung bisa saja menginap di rumah adat tersebut, tetapi kita harus mengerti bagaimana kondisi keluarga yang tinggal di rumah adat tersebut, jika kita menginap maka otomatis keluarga tersebut haruslah masak untuk kita, jadi kita juga haruslah pengertian.








Rumah adat karo menunjukkan adanya kebersamaan dan persatuan yang kuat terhadap masyarkat dahulu. Dahulu persatuan masihlah kaut sehingga gotong royong sering mereka lakukan termasuk dalam membangun rumah adat. Dahulu nama orang pembantu dalam melakukan kegiatan gotong royong disebut srayani (pekerja yang bekerja tanpa gaji dan hanya memberi nasi dan minuman serta rokok saja), sehingga rumah adat pun dapat tercipta.








Rumah adat lingga yang masih di tempati hanya dua buah saja dan yang tidak dipakai tinggal tiga buah.








Rumah adat lingga berdiri berkisar sekitar 200 tahun silam. Generasi yang menetap di rumah adat pun sudah banyak. Namun raja pertama pendiri rumah adat dapat dilihat di Urut Lingga yaitu kuburan yang panjang.















KONDISI FISIK RUMAH ADAT















Rumah adat karo memiliki dua kepala patung kambing yang berada tepat diujung rumah adat yang berfungsi sebagai anti petir. Terdapat lantai kayu di rumah adat yang tipis, agar tubuh tidak pegal jika sehabis bangun, cara menipiskan kayu tesebut dapat menggunakan gergaji yang panjang yang harus dipegang oleh dua orang.








Di muka rumah adat di namakan Ayo (dalam bahasa karo yang berarti wajah, muka, depan) yang berupa anyaman terdapat di atas dan di luar jabu.








Rumah adat memilki 26 tiang penyangga, yaitu 13 tiang kecil dan 13 tiang besar, tiang penyangga besar juga sebagai penyangga sampai atap rumah sedangkan tiang penyangga kecil hanya berada di bagian ujung rumah yang berfungsi sebagai tiang penyokong /pondasi.Zaman sekarang semua benda tersentuh oleh bahan modern, begitu juga riumah adat karo, tiang penyangga juga sudah diolesi oleh semen yang dahulunya hanya terbuat dari batu alam.








Dinding-dinding rumah adat diukir dengan ornamen-ornamen yang mempunyai fungsi masing-masing. Salah satu ornamen yang paling unik yaitu pengeret-ret yang berfungsi sebagai penyelamat dan terbuat dari ijuk yang disimpul, ornamen yang seperti halnya tapak raja sulaiman , bunga gunur sebagai pelindung.








Atap-atap rumah terbuat dari ijuk, yang mana ijuk tersebut berguna dan bahkan lebih tahan dari pada rumah zaman sekarang.








Di bawah ijuk terdapat bambu yang sekitar 200 tahun belum pernah diganti dan benar-benar tahan lama, bambu tersebut diikat dengan ijuk yang disimpul sehingga berguna sebagai pengikat.








Pintun perik adalah nama dalam bahasa karo yang berarti jendela dan pintun perik di rumah adat lingga ada 15 buah.








Di dalam rumah adat, sebenarnya terdapat 10 jabu/keluarga jika rumah tersebut adalah rumah raja, jika masyarakat biasa hanya terdapat 8 ( dalam bahasa karo: waluh) jabu yang sering di sebut sebagai siwaluh jabu.








Salah satu hal yang pelung unik dari rumah adat karo yaitu, rumah adat tidak menggunakan pengait seperti kayu, melainkan ijuk yang disipmul dan jika untuk kayu besar tersebut di lubangi dan dipaskan dengan kayu yang akan dimasukkan.








Di dalam rumah adat karo terdapat khusus para/tempat untuk dua keluarga . di tingkat paling atas para digunakan sebagai tempat kayu besar sedangkan tingkat kedua sebagai tempat padi. Namun terdapat juga para panjang ( dalam bahasa karo disebut: para ganjang )








Di dalam kamar sebenarnya hanya terbuat dari kelambu, namun sekarang berhubung karena adanya bantuan pemerintah dalam menangani urusan ini maka kamar dibuat/diperbaiki dengan membuat triplek, namun berhuung karena suku jawa seebagai pemborong/pembuat maka a;at pengait yang digunakan sudah paku sehingga hilanglah sudah keunikan rumah adat ini, telah tercampur oleh alat modern dan alami. Selain itu terdapat sebuah cerita mengenai sebuah papan besar yang sekarang sudah dipaku rata dengan lantai. Cerita ini diceritakan oleh nenek moyang secara turun-temurun yaitu, jika ada seseorang yang meninggal maka akan ada air yang besar. Air besar tersebut berasal dari Deleng Kutu (daerah Kaban-Gurusinga), di mana air air besr tersbut akan melewati papan tempat air yang ada di rumah adat. Dahulu kala papan tempat air yang ada dirumah adat di gunakan sebagai tempat jalan air jika air besar datang. Adapun mitos yang belum jelas kebenarannya yaitu , terdapat seorang raja yang sedang mengembalakan kambingnya, berhububg arena air besar maka raja dan kambing tidak bisa jalan sehingga raja tersebut pun berkata Kerah Kering Keluluhen Gelah mentas kambingku silima” setelah berkata begitu maka air besar seketika langsung berhenti dan mengering. Begitulah legenda tentang papan yang sudah di pakukan suku jawa. Padahal dahulu papan tersebut agak menjorok kebawah dari lantai rumah adat yaitu sedalam betis orang dewasa.

















































Tidak ada komentar:

Posting Komentar